Maksiat Melahirkan Bencana

0
1122

“Tidakkah kamu lihat, bahwasannya kami telah mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat maksiat dengan sungguh sungguh”“Tidakkah kamu lihat, bahwasannya kami telah mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat maksiat dengan sungguh sungguh”(Q.S Maryam : 83)

Introspeksi Diri Lebih Baik (Ujian Vs teguran)

Coba kita renungkan kalimat berikut :Kegagalan yang sering menghampiri, kesialan terus menerus, tertundanya kesuksesan, dan hidup penuh kegelisahan, boleh jadi itu merupakan buah dari maksiat atau dosa-dosa kita dahulu. Anda percaya? Itu hak anda untuk tidak percaya, tapi percayalah bahwa semua itu erat kaitannya dengan dosa yang kita lakukan. Introspeksi diri jauh lebih baik daripada menyalahkan yang lain.

Bukankah kemaksiatan itu akan beranak pinak dan akan membahayakan si pelakunya, maksiat kemarin akan menyerang sekarang, pun maksiat sekarang akan menyerang di kemudian hari. Lantas bagaimana cara terlepas dari itu semua? Caranya  yaitu berhenti maksiat dan bertaubatlah secara serius (Taubatun Nasuha), ITU DIA.

Sebutlah namanya pak Suwardi, asli Tanggerang, dahulu beliau merupakan karyawan terbaik di salah satu perusahaan di Tanggerang, karena kepiawaiannya, ia pun sering mendapatkan bonus tambahan dari bos nya, suatu ketika terjadilah PHK besar-besaran di perusahaan pak Suwardi dan beliau masuk salah satu kandidat karyawan yang di PHK, tapi na’as, setelah negosiasi panjang, akhirnya pak Suwardi tetap di PHK.

Selang beberapa hari,  ia pun stress, bingung dan mencoba untuk mencari kerjaan yang layak, tapi apa mau dikata, tidak ada satupun perusahaan yang mau menerimanya, dan itu terjadi selama bertahun-tahun, berapa lama? Yakni tujuh tahun ia nganggur, waktu yang cukup lama bagi seorang pengangguran, ia malu terhadap istrinya, saudaranya, orangtuanya dan mertuanya. Ia tahu kalau ini adalah beban mental bagi keluarganya dan beban sosial bagi istrinya.

Sekian lama berlalu,  akhirnya ia memutuskan untuk berdialog dengan seorang kiyai mengenai nasibnya, sang kiyai tidak banyak berkata, selain memberikan sebuah kertas kecil dan pensil untuk ia bulatkan 9 dosa besar penyebab terhalangnya rezeki yang pernah ia lakukan,

Apa saja 9 dosa besar penghalang rezeki itu :

  1. Syirik kepada Allah
  2. Meninggalkan sholat dengan sengaja
  3. Durhaka kepada orangtua
  4. Memperoleh rezeki yang haram
  5. Meminum khamar
  6. Memutus tali silaturahmi
  7. Menuduh dan Bersaksi palsu
  8. Kikir atau pelit
  9. Ghibah

Setelah diteliti satu per satu, ternyata tidak ada satupun dosa besar diantara 9 tersebut yang ia bulatkan, ia bahkan sangat yakin sekali bahwa semuanya tidak pernah ia lakukan. Sang kiyai pun menundukkan kepalanya dan berkata “kalau begitu ini adalah ujian dari Allah”, tapi apa mungkin Allah memberikan ujian kepada hambanya yang begitu lama hingga tujuh tahun tidak bekerja, padahal yang namanya ujian tentulah tidak lama justru cendrung sebentar, misal kalau anak sekolah diberikan 1 semester untuk belajar alias 6 bulan, bukankah ujiannya hanya 2 minggu? Betul? Adakah sekolah 6 bulan ujian 6 bulan? Rasa-rasanya tidak ada.

Akhirnya sang kiyai mengajak pak Suwardi untuk ngobrol empat mata di dalam ruangan tertutup, karena masih ada 1 lagi dosa besar penyebab rezeki terhambat yang belum sempat diberikan diawal tadi, apa itu? Yaitu berzina, sang kiyai pun berkata “Pak, inikan masalah aib, dan saya tidak berhak menanyakan bapak terlalu dalam, bapak coba kasihkan isyarat saja kalau bapak emang melakukan ini” dan sang kiyai pun menanyakan tentang zina, apa yang terjadi?

Pak Suwardi menangis sejadi-jadinya, ia tahu persis kalau zina memang sering menghantui dirinya, karena ia tahu bahwa ia pernah melakukannya baik  sebelum ataupun setelah menikah. “Apakah bapak pernah bertaubat memohon ampun kepada Allah dan tidak melakukannya lagi?” Tanya sang kiyai, pak Suwardi pun menjawab “belum kiyai”. Pak kiyai pun menyarankan untuk segera bertaubat dan segera meninggalkan zina. Di akhir cerita pak Suwardi bertanya kepada pak kyai, “ustadz apa hubungannya zina dapat menutup rezeki saya selama bertahun-tahun”, sang kyai pun menjawa dengan dalil, “silahkan buka qur’an (QS 25 : 68)”

Akhirnya, selang beberapa minggu setelah taubat, keajaiban pun datang, ia kemudian mendatangi kiyai dan menceritakan bahwasannya ia telah ditawari oleh seseorang untuk mengelola suatu usaha, ia pun diangkat menjadi manager, ia digaji melebihi gajinya sewaktu jadi karyawan. Allah angkat derajatnya di dunia, Allah buka kembali pintu rezekinya, bahkan melebih pintu rezeki yang dahulu. Itulah janji Allah bagi orang yang mau taubat.

Benarlah Imam Al-Hasan ketika ditanya mengenai musibah umatnya, beliau selalu mengatakan cobalah istighfar, begitu pun tentang kesialan dalam hidupnya, beliau juga menjawab cobalah istighfar, mengapa begitu? Karena segala kehidupan kita tidaklah terlepas dengan dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil,  betul tidak? Adalah benar dengan memperbanyak istighfar pastilah Allah akan memaafkan dosa-dosa kecil kita (QS 3: 135).

Bukankah lebih baik kita melihat atap yang bocor daripada melihat lantai yang basah. Kalau atap bocor, kita ganti, kita ubah, kita perbaiki, yakinlah lantai yang basah tidak akan terjadi lagi, iya kan? namun jika hanya melihat dan membersihkan lantai yang basah sementara ada atap yang bocor, maka sampai kapanpun lantai akan menuai basah. Itulah hakekat intronspeksi diri bukan menyalahkan takdir.

Kalau memang penuh dosa dan sial dalam hidup, kenapa kita sibuk menyalahkan takdir, kalau memang sering gagal dalam ujian mengapa kita selalu menyalahkan takdir, lebih baik introspeksi diri agar terjadi evaluasi diri. Nabi aja ketika kalah dalam berperang beliau tidak pernah menyalahkan takdir, tidak pernah beliau mengatakan “inilah takdir dari Allah”, yang ada justru evaluasi, introspeksi, buat strategi. Nah kita juga begitu harusnya, ketika gagal dalam ujian, kita evaluasi, mungkin kurang persiapan matang, mungkin kurang maksimal dalam menghadapi ujian, mungkin kurang strategi dalam belajar, dan lain sebagainya, nah ketika besok lagi sudah matang persiapan dalam ujian dan ternyata tetap gak lulus juga, bolehlah mengatakan inilah takdir dari Allah, tapi ingat jangan setiap saat mengatakan itu, ntar anda sama saja disebut pesimis.

Dalam usaha juga begitu, baru satu hari dua hari tidak laku laku usahanya, langsung mengatakan inilah takdir dari Allah, dan lain sebagainya, nah kalau begini anda tidak pantas menjadi wirausaha, orang yang mau berwirausaha artinya ia siap untuk menjalankan proses resiko menjadi wirausaha, tidak laku bukan berarti anda kalah, anda ubah strategi marketingnya, buat yang simple dan menjadi bahan perhatian orang orang sekitar, sehingga penjualan anda menjadi laku dan laris.

Akhirnya, saya pun teringat dengan kejadian ini, di pagi hari yang cerah, datang seseorang menemui saya, dia mengatakan bahwa hidupnya selalu dihadang dengan kesialan yang datang terus menerus, begitupun kecelakaan, dan dompet yang sering hilang. Kemudian saya bertanya halus, apakah anda sudah membayar zakat harta 2,5%? beliau terdiam, seakan orang telah mencekiknya, bagaimana mungkin ia lupa membayar zakat selama puluhan tahun, padahal sedekahnya selalu ia keluarkan setiap saat, Akhirnya ia pun bertaubat dan terus membayar zakat, dari situlah kemudian  Allah ganti dengan keberkahan dalam hidupnya, Allah hilangkan kesialan dalam hidupnya, Allah ridho terhadap dirinya, Allah berkahi hartanya.

Beruntunglah orang yang selalu menjaga kesucian dirinya dengan senantiasa memperbaharui keimanannya dengan beristighfar dan bertaubat dari dosa dan kesalahannya, agar kita kelak tidak menjadi orang-orang yang merugi.

Apa saja ciri orang yang merugi?

  • Ciri-ciri kerugian itu ada empat :
  • Melupakan dosa dosa yang telah lalu, padahal belum pernah ditaubati
  • Menyebut nyebut kebaikan yang telah dilakukan, padahal ia tidak tahu amalan itu apakah diterima ataupun ditolak
  • Melihat kepada yang lebih tinggi dalam hal dunia
  • Melihat kepada orang yang lebih rendah dalam urusan agama
  • Bukankah setiap anak adam sering berbuat salah dan dosa. Dan sebaik baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat (H.R Tirmidzi)

Bukankah banyak orang yang merasa dirinya paling benar, merasa dirinya paling pintar, dan paling tahu segalanya, tapi lupa terhadap hatinya yang telah diselimuti rasa sombong dan angkuh, padahal itu adalah dosa yang bersemayam dihatinya, iya tumbuh dengan akhlak yang buruk, sehingga introspeksi diri jauh dari hatinya. Allahpun murka terhadap dirinya. Sudahlah introspeksi diri saja, siap?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here